Posted in Cerita

Hubungan antar Manusia memang Merepotkan

Seorang teman bercerita melalui akun media sosial, bahwa semakin dewasa jangkauan pertemanan kita semakin berkurang, circle pertemanan serasa semakin menyempit. Perkara pandemi ini serasa semakin menyiksa karena rindu temu hanya angan semu. Memang bisa disiasati dengan video daring, telepon, atau chatting tapi rasanya tetap tak sama, karena rindu ya obatnya memang satu, bertemu.

Perihal semakin sedikit teman saat dewasa buatku kini rasanya tak begitu menyedihkan -kini yang aku maksud baru dalam beberapa bulan aku sadari-, pernyataan bahwa dalam kehidupan, orang-orang akan selalu datang dan pergi, hanya durasinya saja yang berbeda. Menetap cukup lama atau sekedar singgah, tapi ujungnya sama saja harus terpisah.

Istilah “people come and go” jujur baru aku dengar dari (mantan) rekan kerjaku, dan saat itu pula aku menyadari sebenar-benarnya maksud pernyataan tersebut. Silih-berganti, berpisah, entah sebagai subjek atau objek dalam hal meninggalkan-ditinggalkan.

Bukan berarti tak ada kesedihan dalam perpisahan tersebut, selalu dan tak jarang juga terlalu, apalagi jika pertemuan kita tercipta begitu manis, mencipta banyak kisah, dan tiba-tiba berpisah.

Namun, cepat-lambat perasaan sedih semacam itu harus bisa diatasi, paling tidak sekarang aku sudah bisa menerima tak lagi menjadi prioritas teman-teman atau bahkan keluarga. Mereka punya kesibukan baru yang mungkin waktunya tak bisa bertemu tepat dengan waktuku.

Seorang teman pernah berpesan dalam sebuah puisi yang ia tuliskan sebagai hadiah perayaan ulang tahunku, judulnya “Teman Baru”.

IMG_20181126_234108

Mungkin puisi ini juga cocok ku berikan dariku untuk kalian, teman-temanku.

Seorang yang lain pernah berbagi cerita jika ia berteman memang karena ada tujuan, ada “maunya”. Aku setuju, bukan berarti dalam pertemanan tak tulus, tapi bukankah memang kita menjalin hubungan dengan suatu tujuan? Ada sangat banyak tujuan, Tuhan punya alasan kenapa kita bisa saling bertemu -dan nantinya akan terpisah-.

Aku sedang berinteraksi dengan orang lain -sebut saja si A, anggap saja ia teman baru- bukan berarti aku lupa denganmu yang lebih awal mengenalku. Hanya saja, tujuanku saat itu memang bukan kamu, dan kebetulan waktu yang kumiliki hanya cukup untuk si A saat itu.

Jika saat itu aku habiskan waktu hanya dengan si A, bukan berarti aku merasa kehilangan orang-orang yang lain. Menurutku, “kepemilikan” itu kita yang tentukan bukan berdasar keadaan, kalau kita masih ingin memiliki keberadaan seseorang bisa saja walaupun hanya dalam angan.

Misalnya kemarin, aku terlarut dalam obrolan si A dan si B tentang musik favorit.

Si C kemudian menghubungiku, menanyakan perihal platform media untuk menulis buku, media untuk membuat karya, hingga cerita sebentar tentang penulis buku ternama.

Hari itu juga si D ku hubungi karena aku ingin bercerita tentang cara-cara memperbaiki hubungan antar manusia, merepotkan, banyak tuntutan. Cerita berfokus pada masalahku yang akhirnya bertemu dengan solusi yang dia berikan.

Kemudian, ada status si E yang ku balas karena penasaran apa maksudnya. Tentang pekerjaannya yang tak mudah ternyata, tapi bagiku saat ini semua pekerjaan akan terasa sangat menyenangkan sesulit apapun itu dibanding tidak bekerja -sepertiku-. Ku hargai ceritanya, toh aku yang memulai kan. Sampai pada akhirnya aku teringat nasihat sederhana yang pernah ia berikan, ia lupa tapi aku ingat. Ia senang karena nasihat yang tak sengaja ia berikan berdampak.

Ada si F, seseorang yang sangat senang kuajak diskusi tentang film dan buku. Kesukaan kami ada yang sama, meski tak segala. Misal perihal bola, sudah pasti dia punya teman lain dibanding bercerita denganku. Kami membahas tentang trik-trik untuk bisa meminjam buku di perpustakaan online dengan durasi lebih lama karena belum selesai dibaca.

Ada si G, H, I, bahkan si J yang hanya bisa ku hubungi dalam mimpi, berbekal surat yang ku tulis dalam angan ….. dan kalau dijabarkan satu persatu bisa saja sampai Z, ada banyak bukan? Meskipun mungkin hari ini atau esok tak ada yang menghubungiku, aku tak merasa kehilangan. Mungkin mereka sedang berada dengan circle pertemanan mereka yang lain. Nyatanya aku tidak benar-benar sendirian, dan aku yakin semua orang tidak pernah benar-benar sendirian.

Dulu saat ada seseorang yang merasa sedih karena merasa sendiri -dan ia adalah temanku- aku akan berburuk sangka pada diri sendiri, itu salahku, mengapa aku tidak peduli. Tapi sekarang aku sadar, jika kau butuh teman dan tak ingin merasa kehilangan cukup berkabar dan hubungi mereka, perihal balasan itu keputusan mereka, ingat ya kepemilikan kita yang tentukan.

Jika kalian menghubungiku, aku tidak menjamin selalu ada tepat waktu, tapi yang jelas aku berusaha untuk tak mengabaikanmu. Untuk yang sedang sedih karena sendiri (atau sebenarnya hanya ditinggalkan oleh orang terdekat yang tak menghubungi) tak apa, tapi cobalah hubungi orang lain. Buat kebahagiaan baru dengan orang lain, sampai saatnya seseorang yang meninggalkanmu datang lagi, jangan abaikan dia. Mungkin saat itu dia tak sempat membalas pesanmu atau menghubungimu memang karena keterbatasan kesempatan bukan benar-benar melupakan.

Yuk, lebih hargai siapa yang kita punya daripada mengkhawatirkan siapa yang sedang tidak bersama kita.

Hubungan antar manusia memang merepotkan, ya?

Leave a comment