Posted in Review

Sebuah Ulasan: Home Sweet Loan

Hola! Udah lama banget ya, ngga nulis. Terakhir pertengahan tahun lalu, lalu hilang. So, here I am, balik lagi sebelum mungkin akan hilang lagi hihihi. Kali ini mau nulis karena ada topik bahasan yang kayak jadi keharusan buat ada jejak ceritanya. Yups, konten curhatan berkedok review kali ini bakal bahas novel ke-4 -yang berhasil rilis versi cetaknya- dari Kak Almira Bastari, one of my favourite writers, judulnya HOME SWEET LOAN.

Terdengar miris-miris manis bukan dari judulnya, tapi gimana sih ceritanya banyak manisnya atau banyak mirisnya? Let’s check it out, eh tapi sebelumnya mau cerita dulu nih gimana perjuangannya sampai bisa dapetin buku ini lewat war PO yang cukup drama hahaha.

Awal mula kabar rilisnya Home Sweet Loan ini beredar, aku udah prepare segalanya dari mulai dana sampai reminder waktu PO nya, yang kebetulan PO dibuka pas tanggal gajian -25 Januari- pas jam istirahat -jam 12 siang-. Berawal karena jatuh cinta sama Rara di novel Resign lalu ter”Gala-Gala” di novel Ganjil Genap, PO HSL ini emang udah aku siapin banget banget banget -hahaha lebay- dan fyi aja ini first time aku ikutan PO buku kayak gini. Pas tau ada banyak buku yang akan dicetak untuk PO, cukup yakin bakal dapetin bukunya apalagi setelah serangkaian strategi yang sudah disusun.

Tapi ngga bisa dibilang perjuangan dong kalau ngga ada dramanya ya kaaan? Pas hari H open PO ternyata gagal kebagian *sedih banget*, karena telat cek 4 menit. Gila sih orang-orang nih bener-bener berebut ya kalau PO kayak gini, hanya 4 menit langsung ludes aja. Gokil.

Setelah gagal, lalu seharian jadi gloomy padahal masih bisa beli bukunya bulan depan pas rilis di toko buku secara luas cuma lebih telat aja. Lalu, suatu keajaiban datang -hahaha lebay lagi- pas udah balik ke kosan, iseng buka ig Kak Almira, liat story-nya isi repost-an orang-orang yang berhasil menangin war PO *iri iri iri*, lalu ada story yang minta komen-komen bagi yang belum kebagian kali-kali bakal dibuatin PO ke-2 nya, lalu asal aja ikut komen dan iseng cek toko buku online lagi yang tadi udah kehabisan stock. It’s miracle, ternyata beneran dibuka PO ke-2, langsung tanpa mikir lagi checkout. Ternyata secara official belum diinfoin kalau udah dibuka PO ke-2, untung aja sih. Kalau tahunya setelah info PO ke-2 dibuka, bisa-bisa kehabisan lagi.

Legaaaa banget, yang tadinya gloomy langsung jadi happy. Meski PO ke-1 dan ke-2 ada bedanya, ngga dapet merchandise -keset HSL-, tapi tetep bersyukur bisa baca buku ini lebih dulu sebelum rilis akhir Februari nanti. Alhamdulilaah.

Oke, setelah panjang banget cerita perjuangan dapetin bukunya. Yuk mari kita bahas isi bukunya, yang kalau kata salah satu temen pernah penasaran sampe nanya “Kenapa kaya heboh banget kamu pengen buku ini es?” hahaha. Semoga melalui tulisan ini terjawab ya hihihi.

1 … 2 … 3 …


Home Sweet Loan bercerita tentang Kaluna, staff bagian umum di salah satu bank bersama ke-3 teman masa SMA yang kebetulan satu tempat kerja -Kamamiya, Tanish dan Danan- dalam perjuangan mereka mencari “rumah idaman”. Meski dengan alasan dan latar belakang yang berbeda-beda tujuan mereka sama-sama mencari “rumah idaman”, tempat untuk berpulang.

Kaluna, si tokoh utama. Berlatar belakang kaum middle class yang masih tinggal bersama keluarga ++ nya, karena dalam satu rumah ada 3 kepala keluarga. Yaps, Kaluna tinggal bersama Ayah-Ibu dan kedua kakaknya yang sudah menikah -dan punya anak-. Si hemat, penuh perhitungan dan penuh perencanaan, si paling semangat dalam mencari hunian idaman agar bisa keluar dari rumah dengan 3 kepala keluarga.

Kamamiya, si paling tenar, yang berambisi jadi selebgram. Paling suka belanja dan buang-buang uang untuk kesenangan dan tentu saja kebutuhan konten. Si pencari apartemen cantik untuk bisa diunggah ke media sosial.

Tanish, si paling realistis. Ibu milenial satu anak, yang sedang berjuang mencari hunian tetap dengan perjuangan joint income bersama sang suami yang rela long distance marriage. Agar bisa memiliki hunian yang lebih legaan, agar bisa hidup lebih nyaman bersama keluaga kecil -dan mertua-nya-.

Danan, si paling tanpa beban. Tak punya target khusus baik memiliki hunian maupun pernikahan. Si yang hidup untuk hari ini, senang-senang adalah keharusan. Hingga akhirnya sadar dan mulai memikirkan masa depannya.

Lalu, berhasilkah mereka menemukan tujuan masing-masing? Punya hunian idaman untuk tempat berpulang.


Baca novel ini ngga cuma sekedar hiburan tapi juga sebagai sarana merenung dan mengambil pelajaran. Honestly, setelah baca novel ini jadi sedikit overthinking karena cukup banyak case yang bisa relate dengan kondisi banyak orang. Terlebih, berbeda dengan karakter-karakter dari novel Kak Almira sebelumnya, tokoh utama kali ini digambarkan sebagai kaum middle class dengan segala perjuangannya dalam menjalani kehidupan, jadi lebih bisa merasakan kedekatannya.

Penceritaan juga terasa sangat familiar dengan kondisi saat ini. Berlatar kehidupan pekerja di Jakarta, sedikit mengambil issue tentang pandemi, jadi makin berasa nyata aja. Kali ini, porsi romance tidak begitu ditonjolkan meski kemunculannya tetep ya bikin gemasss. Rom-com versi Kak Almira selalu berhasil bikin senyum-senyum dan ikut baper, meski jujur kali ini ngga cuma kesemsem tapi juga ikut berempati pada kondisi Kaluna dan kisah cintanya.

Sesuai judulnya, cerita berfokus pada pencarian rumah idaman masing-masing tokoh. Penceritaan saat mereka bersama-sama mencari rumah dan banyak cobaannya menjadi cerita yang menarik. Menunjukan kalau tidak gampang ya mencari hunian yang nyaman, aman, sesuai keinginan dan anggaran. Dari HSL, jadi tahu sedikit banyak tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pencarian rumah. Beberapa istilah seperti SHM, IMB, tanah girik, dll yang sebelumnya asing jadi bahasan menarik dalam cerita ini.

Karena fokus ceritanya tentang pencarian rumah yang tidak terpisahkan dengan perencanaan dana, dari novel ini juga belajar berhemat dan membuat perencanaan ala Kaluna yang sebenarnya sudah agak mirip-mirip ku praktikan. Relate banget sama Kaluna yang harus nyatet pengeluaran, buat perencanaan anggaran bulanan dari gaji yang masih pas-pasan, yang harus mikir berkali-kali kalau mau jajan atau jalan-jalan, yang harus berhemat dan berusaha tidak terpengaruh gaya hidup teman-teman yang spending behaviour-nya cukup jor-joran demi kesenangan. Semua dilakukan demi tabungan masa depan yang masih jauh untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan impian.

Cerita tentang kehidupan rumah tangga juga digambarkan dengan menarik dari banyak case. Cerita tentang Tanish dan suaminya yang harus menjalani long distance marriage demi bisa menghidupi kebutuhan keluarga dan segala persiapan buat masa depan anaknya, hidup sebagai ibu pekerja yang masih dapat omelan-omelan mertua karena dibilang terlalu sibuk, hmm menjadi sedikit perenungan. Ternyata berumah tangga perlu banyak pertimbangan, pengorbanan dan banyak hal lain yang perlu dipersiapkan. Cerita tentang kehidupan pernikahan lain juga digambarkan dari kakak-kakak Kaluna yang sudah berkeluarga tapi masih tinggal seatap dengan orang tua. Masalah? sudah pasti ada, rumah dengan satu kepala keluarga saja bisa timbul masalah, apalagi ada tiga kepala keluarga.

Kalau kata salah satu quote di bukunya sih begini,

“Menikah tanpa mengukur kemampuan diri artinya bersiap-siap membuat konflik di keluarga besar”

TBL TBL TBL

Eh tapi, bukan berarti dari cerita ini “menikah” kesannya horror banget ya. Justru dalam cerita ini Kaluna juga diceritakan ingin menikah namun dengan persiapan yang lebih matang dibanding kakak-kakaknya. Malah, cukup intens cerita tentang para tokohnya yang ingin menikah apalagi mereka sudah menginjak kepala 3++. Kamamiya dan Kaluna sudah mulai panik-panik -ditambah tekanan banyak hal- kapan bisa segera menikah, kalau Danan? Yah, Danan adalah si paling tanpa beban ditambah karakternya yang percaya diri dan cukup narsis, jadilah dia santai-santai saja -atau memang kebanyakan laki-laki begitu?-

Kayaknya akan sulit bagi para pembaca untuk tidak bersimpati dengan kisah Kaluna ini, dari mulai keinginannya menikah dengan pacarnya -Mas Hansa- tapi terbentur perbedaan gaya hidup antara keluarganya dan keluarga Mas Hansa. Kaluna harus berkorban bahkan memaksakan keadaan agar bisa dianggap “setara” dengan keluarga Mas Hansa.

Kaluna juga harus bisa bertahan di rumahnya yang semakin bertambah jumlah anggota keluarganya, kehidupannya makin suram. Kamar digusur dan pindah ke kamar pembantu, harus rela mengerjakan banyak pekerjaan rumah karena kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga selalu beralasan “orang yang sudah berkeluarga lebih repot dari yang masih single, mohon pengertiannya,”. Sudah berkorban begitu-pun Kaluna mash direcoki masalah keuangan yang dia tabung dengan susah payah demi mendapat hunian impian, tapi malah harus digunakan untuk membayar hutang atas kesalahan-kesalahan kakak-kakaknya.

Kaluna yang akhirnya memutuskan berpisah dengan Mas Hansa karena terbentur perbedaan yang sulit ditoleransi, tabungan lenyap, dan cita-cita punya hunian idaman pupus harapan. Poor Kaluna, puk-puk-puk. Tapi, tenang saja setelah ujian bertubi-tubi Kaluna juga mendapatkan kebahagiannya, meski dengan perjuangan yang penuh pengorbanan dan keikhlasan.

Berbicara aspek romance dari novel ini, akhirnya ya setelah gagal menebak jodoh Gala di Ganjil Genap kali ini tebakan jodoh Kaluna benar. Akhirnya juga aspek cinta-sahabat berbalas kali ini. Meski penceritaanya tipis-tipis tapi tetep manis -pake banget- justru kadang yang simple-simple gini ngga banyak neko-neko bisa lebih ngena ya. Jadi tahu juga gambaran kisah cinta orang dewasa itu minim basa-basi, lebih realistis, meski tetep ya namanya cinta juga ada gemes-gemesnya, dan Kak Almira nih jagonya meramu cerita yang bikin tetep seru meski ada haru.

Meski kali ini penceritaan kisahnya cenderung lebih banyak keharuan yang jadi bahan perenungan, humor khas novel-novel Kak Almira tetep ngga ketinggalan. Celetukan-celetukan yang sebenernya bisa jadi pelajaran sering disampaikan lewat obrolan-obrolan lawak dari Kaluna dan geng-nya yang bikin ngakak. Gaya bahasa yang nge-pop juga jadi ciri khas novel Kak Almira yang bikin susah berhenti, bawaanya pengen beres sekali duduk aja. Ceritanya ngalir tanpa terasa melelahkan.

Tentang kedekatan dari cerita novelnya ini banyak banget sih, mulai dari kondisi sesama yang jadi satu-satunya single dalam keluarga yang terkadang dianggap bisa membantu sebanyak-banyaknya dengan alasan “belum banyak tanggungan” tapi ngga bisa menolak kayak Kaluna apalagi kalau kejadiannya udah menyangkut ibu-bapak. Keluarga segimana repotnya selalu ada alasan untuk saling melindungi, saling menolong, dan saling menyayangi, karena sejauh-jauhnya pergi-pun keluarga tempat berpulang. Terharu banget pas bagian cerita tentang “kabur”nya Kaluna dan alasannya.

Lalu cerita tentang menentukan masa depan untuk menikah dan segala pertimbangannya. Galau-galaunya Kaluna dengan Mas Hansa yang ternyata benar bukan jodohnya meski sudah menjalani hubungan yang cukup lama dan cerita tentang tekanan dari orang tuanya mengingat usia yang sudah dewasa, tapi Kaluna yang merasa belum siap dan belum yakin dengan Mas Hansa. Bahkan setelah berpisah dengan Mas Hansa-pun Kaluna menjadi susah membuka peluang bagi orang lain karena merasa belum siap memulai hubungan dengan membawa masalah keluarga yang bisa jadi menjadi masalah di calon keluarganya. Perasaan-perasaan yang sedang begitu dekat dengan kondisi banyak orang -tanpa terkecuali, aku-. Terbentur antara mau tapi belum mampu, jadi setiap ditanya dengan topik bahasan ini sering buntu, ngga tahu.

Overall, aku seneng banget bisa punya kesempatan buat baca novel ini duluan. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil dari baca novel ini. Belajar kan bisa dari mana saja ya, ngga melulu dari buku-buku yang pembahasannya serius, terkadang lewat cerita novel yang menyoroti kehidupan begini juga bisa diambil banyak pelajarannya. Pembawaan yang santai kadang bisa lebih masuk buat jadi bahan perenungan.

Satu-satunya kekurangan dari novel ini adalah kuraaaaaaang panjang ceritanya wkwk.

Seperti biasa, dari novel ini akan aku sertakan sedikit kutipan bukunya yang menurutku menarik. Bahkan pada bacaan kali ini, aku sampai bikin anotasi buku dan menghabiskan hampir satu pack book marker saking banyaknya part yang bikin kagum, relate, ngakak, sedih, sampai awww moment saking gemesnya juga ada.

Selamat datang di kota megapolitan Indonesia bernama Jakarta, yang gaji pegawainya di daerah elite hanya satu digit di depan juta rupiah. Tidak semua orang dunianya seindah tampilan di mal-mal premium Jakarta, dengan menenteng tas bermerek atau lompat-lompat di Senoparty dengan sepatu yang mungkin lebih mahal dari gajiku sebulan.”

“Kata Tanish, nikah itu manisnya hanya sebelum nikah. Setelah nikah, semuanya kerja keras. Punya anak apalagi. Jadi di kepala Tanish, semuanya serba “digampang-gampangin” saja, jangan dibuat ribet.”

Marie Kondo berbenah jadi kaya. Aku berbenah terus-terusan, hidupku malah jadi tambah berantakan.”

“Ibu selalu begini. Bagi Ibu, sesalah apapun anaknya, anak tidak pernah salah. Sesedikit apapun tenaga Ibu, di kepala Ibu hanya ingin membantu sebanyak-banyaknya urusan anak.”

Di masa depan, orang-orang yang bisa menggelar hajatan, lamaran, apalagi pernikahan di rumah sudah pasti orang kaya banget. Karena rumah generasi milenial bisa ada ruang tamu yang terpisah dengan ruang keluarga saja sudah mewah.”

Kalau dari pacaran saja keluarga calon mertua sudah sinetron, jangan harap pas nikah jadi baik. Yang ada malah jadi sinteron Azab!”

“Cewek kan prinsipnya nunggu cowok hadir, deketin, berjuang untuk dia. Lha ini, cowoknya juga nunggu. Sama-sama nunggu. Nggak ada yang gerak. Emangnya lagi nunggu pertandingan? Tapi ngga ada yang tanding karena semuanya nonton!”

“Rumah murah kalau bukan takdir keberuntungan, pasti sebuah kebetulan, kebetulan banyak masalahnya.”

Jodoh itu perkara memilih, menerima apa adanya, menerima seada-adanya, atau sama-sama berusaha.”

“Katanya kebahagiaan bagi orang kaya itu bukan lagi uang. Sedangkan buat mereka yang masih butuh uang, uang adalah solusi untuk banyak permasalahan.”

“Kalau laki-laki niat, dia bakal berusaha bagaimanapun caranya.”

Jadi tanpa bosan-bosan, aku rekomendasiin novel ini banget buat kalian yang lagi butuh bacaan ringan berbonus nasihat-nasihat dan pelajaran kehidupan. Kalau kata quote bukunya di halaman pertama, novel ini ditujukan

“Untuk yang berjuang memiliki tempat untuk pulang”

4.8/5 untuk Kaluna yang berhak bahagia.

*note: OOT, pas baca novel ini versi cetaknya sempet ngerasa ngga asing sama nama “Danan” ternyata baru kepikiran pas menuju ending kalau “Danan” adalah nama keponakan baruku yang lahir sehari setelah open PO HSL HAHAHA. Tante doain semoga kelak bisa jadi kayak Om Danan di cerita ini ya, tapi versi yang baik-baiknya aja xixixi.