Posted in Review

Sebuah Ulasan: Cek Toko Sebelah 2

Huft! Beberapa hari ini sebenarnya sangat melelahkan karena harus berhadapan dengan seseorang yang membuat hari berasa panjaaaaang, tapi sayang tidak menyenangkan. Kalau kata seorang teman sih, “Kalau bermasalah sama kerjaan masih mending ya, bisa dicuekin dulu. Tapi kalau bermasalah sama orang tuh lebih ribet, ya gimana ya ketemu mulu. Liat mukanya juga sebel.” Hmmm… ada benernya juga ya. Aku percaya ada orang-orang yang tidak bisa disatukan dalam suatu kesatuan, ya kayak air dan minyak aja sampai kapanpun susah buat bisa nyatu. Bisa sih kalau dikasih sabun.

Jadi tulisan ini dibuat sebagai cara melampiaskan kekesalan karena energi negatif ini harus segera dibuang, harus sudah habis rasa kesalnya. Sebenernya sih ingin ceritanya ke seseorang yang selalu bisa jadi tempat bercerita tanpa ada rasa canggung secara langsung, tapi yaaaah sayang ngga ada orangnya, huhuhu. Ngga papa lah lewat tulisan dulu aja.

Agak panjang ya back story-nya, emang niatnya curhat berkedok review ya begini lah. Isinya campur aduk. Jadi buat yang mengharapkan tulisan ini akan semenarik review para sinefil, salah besar ya. Bahkan sepertinya tulisan ini nantinya jika sudah masuk ke intinya pun akan lebih banyak bagian curhat dibanding review filmnya. Bagi yang sudah sejauh ini membaca, boleh lho selesai di sini daripada merasa kehilangan banyak waktu untuk membaca celotehan ini. Sekedar mengingatkan, mungkin akan jadi tulisan yang panjaaaang.


Minggu lalu, 25 Desember selepas walking tour karena masih siang dan belum ada agenda lain, jadi memutuskan untuk lanjut nonton film ‘Cek Toko Sebelah 2’ mumpung lagi ada promo dari Jenius juga. Meski -lagi-lagi- sendirian, tetep dijalanin karena saking ngga sabar dan terlalu banyak obrolan tentang film ini di sosial media, semakin lama menunda menontonnya sama saja semakin lama harus kuat menahan rasa penasaran tentang keseluruhan ceritanya. Sengaja pilih Metropole XXI supaya ngga bablas nge-mall setelah nonton, selain itu karena bioskop ini salah satu bioskop yang legendaris. Meski studio-nya tidak terlalu besar tapi tetap nyaman.

Suprisingly, yang nonton lumayan banyak. Jarang banget nonton di row E yang cukup tengah karena row-row atas sudah penuh. Mana yang nonton kebanyakan keluarga gitu, kan jadi iri ya, kayak yang ngenes banget nonton sendirian di musim liburan ini. Bahkan pas milih kursi aja ngga boleh skip 1 kursi kata mbak ticketing-nya, padahal kan biar ga semakin iri berdampingan sama pasangan-pasangan atau rombongan keluarga ya. Tapi ya sudah, terlepas dari cerita ngenesnya, film ini tetep menarik lho.


‘Cek Toko Seblah 2’ adalah sekuel dari film ‘Cek Toko Sebelah’ yang meski dalam realitanya sudah berjarak 6 tahun sejak rilis film pertamanya, cerita dalam filmnya berlatar waktu 1 bulan sejak cerita film pertamanya. Film yang disutradai -sekaligus merangkap sebagai pemain- Ernest Prakasa ini masih menggunakan formula drama-komedi dalam penyampaian ceritanya. Film ini melanjutkan cerita keluarga Koh Afuk yang meski kini udah ngga punya ‘toko’ lagi. Jika dibandingkan, CTS 2 jauh lebih matang dalam menyampaikan cerita, isu yang dibahas lebih kompleks namun terasa dekat. Porsi drama komedi yang cukup berimbang membuat penonton tertawa-menangis-tertawa-menangis sepanjang film. Ya meski kalau buatku, porsi menangisnya ini lebih banyak ya daripada porsi tertawanya, even untuk part komedi sekalipun bisa bikin haru ujung-ujungnya nangis lagi. Tapi percayalah, rilis air mata selama nonton film ini sangat melegakan.

Kalau film pertamanya berfokus tentang konflik ayah-anak, CTS 2 lebih berfokus pada cerita pasangan yang tentu saja tidak bisa lepas dari problematika sebagai suatu keluarga. CTS 2 secara garis besar menceritakan tentang perjuangan Erwin-Natalie yang akan menikah dengan segala permasalahannya- yang benar ya kata kebanyakan orang kalau mau nikah itu ujiannya banyaaaak banget- serta cerita tentang Yohan-Ayu dengan isu child-free. Isu yang dibahas menurutku cukup berat ya, tapi pengemasan ringan lewat sajian komedi ini juara banget deh. Banyak scene yang bisa buat kita refleksi diri tanpa menggurui meski niatnya mungkin menasehati.

Sebagai sebuah sekuel, film ini jelas berhasil melanjutkan cerita dan menghadirkan warna baru yang semakin melengkapi keseluruhan cerita. Makin solid, makin bagus. Tapi pastilah sebagai sekuel yang terpaut cukup jauh, CTS 2 punya tantangan besar salah satunya dalam hal continuity cerita. Apalagi ditambah dengan perubahan pemain salah satu karakter. Namun penggantian pemain Natalie yang sebelumnya diperankan oleh Gisel lalu digantikan oleh Laura Basuki adalah keputusan yang tepat, mengingat porsi dan beban karakter Natalie di CTS 2 ini lebih berat dan lebih kompleks. Selain perubahan pemain karakter Natalie, karakter baru banyak dihadirkan dalam sekuel ini, beberapa diantaranya yang menarik perhatian adalah karakter Ibu Natalie (Maya Hasan), Amanda (Widuri Putri), dan bapak warkop (Marwoto). Selebihnya masih diisi oleh karakter-karakter lama dan beberapa karakter yang ada di film pertamanya juga dihilangkan, terutama sebagian karyawan toko yang memang udah ngga ada juga sih tokonya.

Nah, mulai dari sini isinya akan banyak spoiler. Jadi buat yang belum nonton dan anti spoiler, sebaiknya cukup membaca sampai sini. Lagian emang masih ada yang kuat baca celotehan asal-asalanku sampai sejauh ini? Jika ada, makasih banget lho ya mau jadi pembaca ceritaku ehehehe.

Ngomongin scene favorit di CTS 2 bisa dibilang semua scene yang ada LAURA BASUKI nya, hahaha. Asli ya chemistry Erwin-Natalie di sini bener-bener bagus banget, gemes banget ya emang nontonin orang pacaran. Scene awal dibuka dengan flashback pertemuan Erwin dan Natalie, yang emang kayaknya cuma ada di film-film ya. Cheesy abis, tapi trust me, manis banget.

Pokoknya setiap part pacarannya Erwin-Natalie ini selalu jadi ‘awww momen’ saking gemesnya. Special mention buat adegan Natalie pengen mie rebus pake sayur tapi di warkop ngga ada sayurnya, si Erwin bawain dong sayuran buat dimasak sama bapak penjual mie-nya khusus buat Natalie. Lalu scene Natalie sakit perut on 1st day of her period, Erwin ngasih botol buat kompres perut Natalie. Fyi, besokannya setelah nonton film, ternyata aku juga haid dan yaaa sudah pasti nyeri perut, tapi sayang aku tidak punya ‘Erwin’ yang dengan manisnya bisa ngasih botol buat kompres -yailah jadi manja-. Ujung-ujungnya dikompres jugas sih, tapi sama diri sendiri sambil berdoa,

Ya Allah sakit banget, semoga ada ‘Erwin’ buat saya juga ya, apalagi kalau lagi sakit begini. Saya ngga kuat semuanya apa-apa sendiri. Selama ini kuat ya sebenernya karena dikuat-kuatin aja, aslinya saya butuh teman hidup. Boleh ya, ketemuin jodohnya di dunia dulu? Aamiin.

Ayo semua yang masih baca sampai sejauh ini, bantu aaminin juga. HEHEHE

Oke, lanjut ke cerita filmnya lagi sebelum makin ngawur.

Kalau adegan gemes-gemesnya diemban oleh Erwin-Natalie, nah porsi komedi tersebar ke hampir seluruh pemainnya. Bahkan Yohan-Ayu yang sebelumnya hanya membawakan cerita drama, di CTS 2 menyuguhkan cerita komedi yang cukup banyak. Part komedi yang paling pecah saat adegan geng capsa mendebatkan tentang ‘susu kental manis’, pecah abissss pokoknya. Widuri Putri sebagai Amanda yang lugu juga bisa mencuri perhatian, meski adegannya tidak begitu dominan, lugu-lugu menggemaskan. Chemistry sama Tante Ayu berasa natural. Kalau di film pertamanya, pusat komedi ada di toko oleh obrolan karyawannya, di CTS 2 geng karyawan ini dipecah menjadi karyawan toko kue Ayu (ada Naryo dan Saipul) dan asisten foto Koh Yohan (Yadi dan Ojak) sudah tidak perlu diragukan lagi. Tek-tokan khas para komika emang juara. Terutama buat karakter Naryo, OMG Mas Yusril kamu luwes sekali. Totalitas.

Kembali ke cerita drama permasalahan persiapan nikah Erwin-Natalie yang jadi super ribet karena Ibu Natalie yang rese abis. Jadi sedikit refleksi ke diri sendiri, oh nikah tuh seribet itu ya meski dari kedua pasangan sudah menyederhanakan segala masalahnya tapi ternyata ngga cuma dua kepala yang mau bersatu tapi dua keluarga dengan banyak kepala dan banyak keinginan untuk dipersatukan. Eh tapi, berkat film ini bukannya jadi takut buat nikah malau semakin menambah keyakinan kalau jodoh ada aja jalannya meski berat selama pasangan suportif, bisa kok bisa. Bener-bener deh karakter Erwin di sini loveable sekali. Ngga sempurna, tapi kalau bisa diambil sikap baiknya ada banyaaak banget. Jadi ayo berdoa lagi,

Ya Allah boleh ya yang baik-baik kayak Erwin ini yang jadi jodoh saya. Yaaa yang baik-baiknya aja. Aamiin

Meski dalam cerita ini kesannya yang ribet emang cuma Ibunya Natalie, yang merasa selalu tau apa yang terbaik buat anaknya, padahal engga. Karakter ibu Natalie kayaknya jadi satu-satunya karakter yang menyebalkan, tapiiii bukan tanpa sebab. Alasan dibalik nyebelinnya ibu Natalie juga diceritakan cukup jelas, penonton bisa sedikit berempati menuju akhir ceritanya.

Pesan yang mau disampaikan lewat film ini salah satunya adalah ngasih tahu bahwa ngga semua tindakan orang tua itu baik buat anaknya, ngga semua orang tua tau yang terbaik buat anaknya. Jadi, yuk bapak-ibu jangan memaksakan kehendak buat anak-anaknya meski niatnya baik. Tapi selain pesan itu, dari film ini juga tergambar banget kalau jadi orang tua itu ngga gampang, bentuk kasih sayang mereka teramat berat ke anak-anaknya sampai salah pun ngga sadar. Tapi sebaiknya jadi anak juga harus bisa sama-sama ngertiin orang tua, apapun yg mereka lakukan dasarnya sayang kok, cuma kadang caranya yang salah atau sebagai anak yang salah mengartikan. Maaf ya, bapak-ibu kalau jadi anak masih sok tahu.

Buktinya kegambar kalau meski ada adegan yang cukup menyebalkan dari Ibu Natalie yang merasa paling tahu yang terbail buat Natalie atau Koh Afuk yang maksa-maksa minta cucu. Mereka cuma sayang, ujung-ujungnya juga mereka mengalahkan ego mereka setelah sadar salah. Setelah mereka sadar bahwa kehendak mereka bukan selalu yang terbaik buat anak-anaknya.

Beralih ke permasalah Yohan-Ayu yang menyinggung isu childfree dengan begitu halus. Akting Adinia Wirasti sebagai Ayu di sini berasa matang sekali, gokil aktor papan atas emang beda ya mainnya. Efortless banget. Ada satu adegan flashback yang jadi alasan Ayu ‘takut punya anak’ dieksekusi dengan sangat baik, emosinya kebawa sampai yang nonton ikut iba dan merasa mengerti alasan kenapa Ayu sebegitu takut untuk punya anak. Lalu karena alasan teresebut, scene-scene bersama Amanda (Widuri Putri) juga berasa canggung-canggungnya natural. Bahkan dari adegan-adegan canggung ini bisa munculkan sisi komedi.

Klimaks cerita juga jadi salah satu bagian yang paling ‘nendang’. Meski ga tahu teknis, tapi shoot pengambilan gambarnya yang muter-muter itu cakep banget. Emosi penonton diajak naik senaik-naiknya kayak di puncak roller coaster. Special mention buat adegan setelah Natalie ditampar, gila mimik muka Laura yang nunjukin dia campur aduk bingung, sedih, marah, dan sudah pasti malu tergambar sempurna meski tanpa kata.

Lalu pelan-pelan penonton dibawa menurunkan emosi lewat adegan penyelesaian yang menghangatkan. Obrolan pinggir pantai antara Koh Afuk dan Erwin menenangkan sekali, meski berusaha melucu untuk menghibur Erwin, delivery Koh Afuk terasa begitu haru. Jadi keinget bapak yang kalau nenangin anaknya, instead of nyari pokok permasalahannya malah mencoba mengalihkan untuk membayangkan momen-momen lucu atau menyenangkan yang pernah mereka lalui. Lagian, lagi dipuncak emosi mah mau diselesaian saat itu juga ngga bisa sih.

Makin menuju ending, semakin menenangkan dan menghangatkan filmnya. Lagi, penyelesaian cerita pun tidak lepas dari peran orang tua yang memang pada dasarnya punya cinta yang teramat besar buat anak-anaknya. Obrolan Koh Afuk dengan Ibu Natalie yang diam-diam mencari solusi buat anak-anaknya menunjukan bahwa segimanapun ribetnya orang tua, kalau landasannya sayang ujung-ujungnya berkorban juga buat kebahagian anak-anaknya.

Selain dari peran orang tua, penyelesaian dari Erwin-Natalie ditampilkan dalam adegan yang cukup menguras air mata. Lagi, Laura Basuki menunjukkan akting yang super duper mempesona untuk adegan campuran antara marah sok kuat tapi juga melemah karena tak berdaya. Tepuk tangan banget buat adegan di depan pintu kamar hotel. Dialog yang super bikin nangis adalah

“Jangan pernah lari ninggalin aku sendirian kalau ada masalah kayak tadi. Kalau ngga ada kamu aku harus berharap sama siapa lagi”

Nyessss … banjir air mataaaa.

Cerita berakhir dengan penyelesaian yang begitu manis. Baik secara penceritaan maupun secara teknis. Visualiasi endingnya cantik banget. Terbayar lah usaha segenap kru untuk dapet momen senja sebagai latar cerita. Suka banget momen adegan ending, rasanya melegakan dan menghangatkan. Emosi yang dibawa naik turun sepanjang filmnya berakhir dengan ketenangan.

Bicara lain-lain tentang film CTS 2 ini, suka sama pemilihan lagu-lagu temanya. Ada 3 lagu (semuanya bagus dan cocok) yang mengiringi cerita.

Kita Usahakan Rumah itu-Sal Priadi

Peka-Sheila Dara ft. Donne Maula

Terjanji-Mika Angelo

Semua lagunya ditempatkan dalam porsi dan momen yang pas banget. Jadi makin mendramatisir cerita, makin ngacak-acak emosi penonton sepanjang filmnya.

Selain soundtrack film, yang patut diacungi jempol adalah tidak ada lagi adegan sexist yang kurang nyaman ditonton terutama buat perempuan seperti di film pertamanya. Masih ada namun sudah sangat minim, itupun dalam konteks laki-laki yang ditanggapi “agak aneh” oleh karakter perempuannya. Baguslah, film bagus bisa kok tanpa harus ada cerita sexist begitu. Mungkin keterlibatan Meira sebagai penulis sedikit banyak mempengaruhi cerita filmnya yang berasa makin ada sentuhan perempuannya. Jadi balance aja ceritanya, semakin melengkapi keseluruhan cerita yang semula sudut pandangnya lebih sempit.

Overall, akhirnya bisa nonton film yang menenangkan dan menghangatkan lagi. Meski setelahnya jadi cukup banyak hal yang dipikirkan dan direnungkan. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil. Ngga cuma pelajaran sih tapi meningkatkan ‘keirian’ bisa punya pasangan suportif nan menyenangkan kayak Erwin atau Koh Yohan. Yang bisa dijadikan tempat bercerita, tempat berbagi, dan tempat menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi. After effect nonton filmnya emang jadi pengen punya pasangan yang bisa membersamai sebagai teman hidup.

Ya Allah boleh ya?

Kalau ada kesempatan, segera tonton di bioskop mumpung filmnya masih tayang. Tapi sepertinya akan cukup awet ya bertaham di bioskop. Jika punya teman nonton bisa diajak supaya lebih seru nontonya, tapi kalau belum punya teman nonton tetap bisa menikmati filmnya sendiri. Sayang banget sih melewatkan film sebagus ini, kalau bisa nonton lagi aku juga mau sih. Typical film yang ga bosen ditonton berulang kali di bioskop. Hayuuuk nonton lagi? hehehe

Buat yang sudah sejauh ini membaca celotehan acak-acakan dari aku yang berkedok review film ini, terima kasih ya. Semoga bisa ada manfaat yang bisa diambil meski sedikit.

For CTS 2,

8.5/10 buat Laura Basuki yang menggemaskan sekaliiii.

Posted in Review

Sebuah Ulasan: Aruna dan Lidahnya

Kemarin, untuk kesekian kalinya rewatch film Aruna dan Lidahnya. Film ini pertama kali ku tonton karena ajakan dadakan dari seorang teman, malam-malam selepas maghrib. Kami berjalan kaki ke bisokop dekat kosan kala di Bandung dulu. Aruna dan Lidahnya menjadi salah satu film yang masuk ke dalam list “tontonan menyenangkan yang membuat jantung berdebar” versi aku hihihi. Jadi, kalau kadang merasa bosan atau sedang butuh hiburan yang bisa memperbaiki suasana hati, film ini bisa jadi referensi. Meski sudah menonton untuk ke 472813913 kali (ini lebay sih), tapi anehnya tidak pernah membosankan, se-gemas itu, se-menarik itu ceritnya bagi aku.

Ulasan kali ini akan berisi cerita tentang pengalaman menontonya, bukan sekedar cerita filmnya yang sebenarnya lebih baik kalian tonton sendiri daripada mencari tahu lewat review ini *sebuah peringatan dini*. Lagi pula tulisan ini juga dimaksudkan untuk memulai kembali kegiatan tulis-menulis yang sudah cukup lama ditinggalkan *lemesin jari hihihihi*.


Aruna dan Lidahnya adalah film produksi dari Palari Film yang disutradarai oleh Edwin –fyi, Edwin dan Palari juga sedang membuat film dari novel terkenal karya Eka Kurniawan yang sedang kutunggu-tunggu pula penayangannya, “Seperti Dendam, Rindu harus dibayar Tuntas”-. Alasan pertama awal ketertarikan untuk nonton film ini karena pemainnya duo fenomenal “Cinta-Rangga” yang ternyata di film ini bukan dipasangkan sebagai kekasih, melainkan sahabat baik. Jadi penasaran, bagaimana Dian Sastro dan Nicholas Saputra men-deliver karakter baru mereka setelah cap “Cinta-Rangga” bergitu melekat selepas AADC. Alasan kedua, karena film ini bercerita tentang “makanan”, sepertinya jarang -atau hampir belum ada- film yang ku tonton menyoroti makanan sebagai bagian penting dalam sebuah film. Alasan ketiga, karena ini film Indonesia, romansa, jadi sayang untuk dilewatkan. Thank you so much, ajakan randomnya ya Men, bcs of you aku punya pengalaman nonton film yang bikin laper dan baper sekaligus.

Ya, supaya tulisan ini ada nyambung-nyambungnya sama judulnya mari kita bahas sedikit tentang filmnya, sebelum lanjut lagi curhatannya hahaha.


Aruna dan Lidahnya (2018), film yang bercerita tentang perjalanan keliling Indonesia oleh Aruna (Dian Sastrowardoyo) bersama Farish (Oka Antara), Bono (Nicholas Saputra) dan Nadezdha (Hannah Al Rasyid). Perjalanan Aruna sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan investigasi terkait wabah flu burung. Tapi, sambil menyelam minum air, Aruna mengajak Bono -sahabatnya yang merupakan koki profesional- untuk menemani sekaligus berwisata kuliner di tempat-tempat investigasi. Saat di Surabaya, mereka berdua bertemu dengan Farish -mantan teman kantor Aruna ,yang sekaligus cinta lamanya- dan Nadezdha -teman Aruna dan Bono, seorang penulis buku-buku kuliner-. Perjalanan investigasi berkolaborasi dengan perjalanan wisata kuliner ini terkemas apik membuat penonton laper dan baper. Asli.

Film ini merupakan adaptasi dari novel karya Laksmi Pamuntjak dengan judul yang sama. Menurtuku, versi filmnya lebih menyenangkan dibanding versi novelnya. Cerita dalam novel lebih serius, tentang pandemi, korupsi, dan konspirasi meski tak lupa sesuai judulnya selalu ada bumbu-bumbu cerita tentang kulinernya. Nah, dalam versi filmnya cerita dikemas lebih ringan, tanpa menghilangkan poin-poin penting yang ingin disampaikan.

Bagian paling seru dari film ini bagiku malah tentang cerita romansanya. Para tokoh yang diceritakan berumur 30-an ini punya cerita cintanya masing-masing. Ternyata, sudah dewasa pun perihal cinta tetap bikin pusing ya. Tentang Aruna yang naksir-naksir sebel sama Farish yang ternyata berbalas cuma lama aja pekanya sih Farish ini, tipe-tipe cowok baik hati tapi tidak berani ish ishh ishhh. Tentang Nad, yang meski sudah berpengalaman dengan banyak laki-laki tapi tetap saja merasa kosong yang ternyata ditaksir Bono, tipe cowok tidak romantis dan perlu dorongan baru berani menyatakan ish ishh ishhh (2).

Tak cuma tentang romansa, tapi tentang persahabatan mereka pun diceritakan dengan menyenangkan. Terutama saat adegan-adegan makan-makan. Melalui film ini, aku jadi tahu ternyata seberagam itu makanan-makanan di Indonesia, dua makanan yang bikin penasaran banget pengen ngerasain adalah campor lorjuk (Pamengkasan) dan pengkang (Singkawang). Dalam suatu artikel yang membahas film ini, ternyata dihadirkan 21 makanan sepanjang film. Kebayang kan betapa ngilernya pas nonton, mana makanannya cukup unik karena sebagian merupakan makanan-makanan khas daerah yang baru ku tahu.

Keunikan film ini selain yang sudah disebutkan sebelumnya, adalah penggambaran narasi oleh toko Aruna. Visualisasi isi hati Aruna disampaikan secara lugas langsung ke penonton. Menarik sekali, terutama bagian-bagian salting Aruna karena perlakuan Farish, gemessss abis.

Terlalu banyak adegan “aww moment” dari film ini, tapi yang paling epic tentu saja adegan saat Aruna dan Bono makan rawon, lalu tanpa aba-aba Farish muncul yang mebuat Aruna kaget sambil mengumpat lalu bermonolog “Nih orang namanya ga boleh disebut-sebut, bahkan dalam hati lho. Muncul.” Selain itu, tiap Aruna salting akibat ledekan Bono dan Nad yang memang tahu Aruna suka sama Farish. Aruna adalah tipe cewek ekspresif yang mudah ketebak apalagi sama temen-temennya, mana duo Bono-Nad adalah kombo jail yang suka banget ngeledek Aruna. Padahal Aruna terlihat sangat berusaha stay cool and chill tiap ketemu Farish, tapi lagi-lagi ya cinta kadang bikin orang ngga kekontrol emang *puk-puk Aruna*. Lagipula, Farish ini adalah perwujudan cowok-cowok logis yang hidupnya lempeng bener ya, sekalinya berani ngerayu kaku banget makanya Aruna sering kesel-kesel gemes ngeliat kelakuan Farish.

Cerita persahabatan mereka juga ngga kalah seru, cap “Cinta-Rangga” sepenuhnya luntur oleh “Aruna-Bono” yang digambarkan sebagai sahabat baik. Bentuk cinta yang mereka presentasikan merupakan perwujudan ketulusan sahabat kepada sahabatnya, saling dukung, tapi juga ngga jaim-jaim buat saling tegur, saling berbagi nasihat jika salah satu punya salah. Bono sebegitu protect ke Aruna, begitu pun Aruna yang super care sama Bono. Gemessss juga.

Bono juga digambarkan sebagai sahabat yang begitu paham Aruna, terutama saat adegan canggung karena Aruna cemburu atas kedekatan tiba-tiba Nad ke Farish. Bisa bener nih Bono ngebelokin obrolan ke makanan. Lagi-lagi makanan bisa menjadi penyelamat ketegangan.

Setalah perjalanan investigasi yang makin menuju akhir makin menunjukan adanya kejanggalan, klimaks cerita terjadi saat Farish terlibat affair dengan pimpinan perusahaannya yang membuat Aruna cemburu hebat. Yang mana pimpinan tersebut adalah orang yang dicurigai Aruna ada dibalik kejanggalan-kejanggalan selama proses investigasi. Aruna yang kalut dan diberhentikan secara paksa dalam project investigasi tersebut pergi setelah bertengkar hebat dengan Farish.

Akhir cerita, Aruna justru berkelana sendiri mencari resep nasi goreng kesukaannya di Pontianak yang merupakan salah satu misi terselubung dalam rangkaian perjalan investigasi wabah ini. Setelah jauh-jauh mencari ternyata resep itu malah resep buatan Ibunya sendiri. Terkadang kita terlalu jauh mencari untuk hal-hal yang bisai kita temukan di dekat kita ya.

Adegan terakhir -dan yang paling berkesan- adalah saat Aruna dan Farish sama-sama jujur akan perasaaan mereka dan ternyata perasaan “naksir-naksir sebel” mereka saling bersambut. Penutup cerita makin manis saat Bono-Nad bergabung setelah mereka pun saling mengutarakan rasa suka. Semua berakhir bahagia. Adegan yang benar-benar terkahir tentu saja sesuai judulnya, mereka makan bersama dengan monolog terkahir dari Aruna

Makanan itu punya kekuatan seperti alam semesta. Dia menghubungkan kita ke berbagai macam orang, dari yang kita benci sampai yang kita suka setengah mati. Dia ngga hanya melahirkan cerita baru tapi dia juga melahirkan banyak kemungkinan baru. Apalagi kalau kalau kita makannya sama orang-orang yang kita sayang. Ini rumah. Ini mewah.”


Aruna dan Lidahnya, aku rekomedasikan ke kalian yang butuh hiburan ringan meredakan banyak bikiran tapi membuat jantung berdebar. Film serius yang dikemas sangat gemas. Tontonan yang bisa dinikmati sembari makan karena bisa menambah selera. Film yang bisa dijadikan gambaran tentang macam-macam kisah cinta, dari yang terlarang sampai yang penuh ketulusan, yang perlu disampaikan atau cukup dirahasiakan, tentang kejujuran pada diri sendiri dan keberanian mengutarakan. Ayo semua nonton, nikmati rasanya laper dan baper bersamaan.

9.5/10 “naksir-naksir sebel”