Posted in Review

Sebuah Ulasan: Cek Toko Sebelah 2

Huft! Beberapa hari ini sebenarnya sangat melelahkan karena harus berhadapan dengan seseorang yang membuat hari berasa panjaaaaang, tapi sayang tidak menyenangkan. Kalau kata seorang teman sih, “Kalau bermasalah sama kerjaan masih mending ya, bisa dicuekin dulu. Tapi kalau bermasalah sama orang tuh lebih ribet, ya gimana ya ketemu mulu. Liat mukanya juga sebel.” Hmmm… ada benernya juga ya. Aku percaya ada orang-orang yang tidak bisa disatukan dalam suatu kesatuan, ya kayak air dan minyak aja sampai kapanpun susah buat bisa nyatu. Bisa sih kalau dikasih sabun.

Jadi tulisan ini dibuat sebagai cara melampiaskan kekesalan karena energi negatif ini harus segera dibuang, harus sudah habis rasa kesalnya. Sebenernya sih ingin ceritanya ke seseorang yang selalu bisa jadi tempat bercerita tanpa ada rasa canggung secara langsung, tapi yaaaah sayang ngga ada orangnya, huhuhu. Ngga papa lah lewat tulisan dulu aja.

Agak panjang ya back story-nya, emang niatnya curhat berkedok review ya begini lah. Isinya campur aduk. Jadi buat yang mengharapkan tulisan ini akan semenarik review para sinefil, salah besar ya. Bahkan sepertinya tulisan ini nantinya jika sudah masuk ke intinya pun akan lebih banyak bagian curhat dibanding review filmnya. Bagi yang sudah sejauh ini membaca, boleh lho selesai di sini daripada merasa kehilangan banyak waktu untuk membaca celotehan ini. Sekedar mengingatkan, mungkin akan jadi tulisan yang panjaaaang.


Minggu lalu, 25 Desember selepas walking tour karena masih siang dan belum ada agenda lain, jadi memutuskan untuk lanjut nonton film ‘Cek Toko Sebelah 2’ mumpung lagi ada promo dari Jenius juga. Meski -lagi-lagi- sendirian, tetep dijalanin karena saking ngga sabar dan terlalu banyak obrolan tentang film ini di sosial media, semakin lama menunda menontonnya sama saja semakin lama harus kuat menahan rasa penasaran tentang keseluruhan ceritanya. Sengaja pilih Metropole XXI supaya ngga bablas nge-mall setelah nonton, selain itu karena bioskop ini salah satu bioskop yang legendaris. Meski studio-nya tidak terlalu besar tapi tetap nyaman.

Suprisingly, yang nonton lumayan banyak. Jarang banget nonton di row E yang cukup tengah karena row-row atas sudah penuh. Mana yang nonton kebanyakan keluarga gitu, kan jadi iri ya, kayak yang ngenes banget nonton sendirian di musim liburan ini. Bahkan pas milih kursi aja ngga boleh skip 1 kursi kata mbak ticketing-nya, padahal kan biar ga semakin iri berdampingan sama pasangan-pasangan atau rombongan keluarga ya. Tapi ya sudah, terlepas dari cerita ngenesnya, film ini tetep menarik lho.


‘Cek Toko Seblah 2’ adalah sekuel dari film ‘Cek Toko Sebelah’ yang meski dalam realitanya sudah berjarak 6 tahun sejak rilis film pertamanya, cerita dalam filmnya berlatar waktu 1 bulan sejak cerita film pertamanya. Film yang disutradai -sekaligus merangkap sebagai pemain- Ernest Prakasa ini masih menggunakan formula drama-komedi dalam penyampaian ceritanya. Film ini melanjutkan cerita keluarga Koh Afuk yang meski kini udah ngga punya ‘toko’ lagi. Jika dibandingkan, CTS 2 jauh lebih matang dalam menyampaikan cerita, isu yang dibahas lebih kompleks namun terasa dekat. Porsi drama komedi yang cukup berimbang membuat penonton tertawa-menangis-tertawa-menangis sepanjang film. Ya meski kalau buatku, porsi menangisnya ini lebih banyak ya daripada porsi tertawanya, even untuk part komedi sekalipun bisa bikin haru ujung-ujungnya nangis lagi. Tapi percayalah, rilis air mata selama nonton film ini sangat melegakan.

Kalau film pertamanya berfokus tentang konflik ayah-anak, CTS 2 lebih berfokus pada cerita pasangan yang tentu saja tidak bisa lepas dari problematika sebagai suatu keluarga. CTS 2 secara garis besar menceritakan tentang perjuangan Erwin-Natalie yang akan menikah dengan segala permasalahannya- yang benar ya kata kebanyakan orang kalau mau nikah itu ujiannya banyaaaak banget- serta cerita tentang Yohan-Ayu dengan isu child-free. Isu yang dibahas menurutku cukup berat ya, tapi pengemasan ringan lewat sajian komedi ini juara banget deh. Banyak scene yang bisa buat kita refleksi diri tanpa menggurui meski niatnya mungkin menasehati.

Sebagai sebuah sekuel, film ini jelas berhasil melanjutkan cerita dan menghadirkan warna baru yang semakin melengkapi keseluruhan cerita. Makin solid, makin bagus. Tapi pastilah sebagai sekuel yang terpaut cukup jauh, CTS 2 punya tantangan besar salah satunya dalam hal continuity cerita. Apalagi ditambah dengan perubahan pemain salah satu karakter. Namun penggantian pemain Natalie yang sebelumnya diperankan oleh Gisel lalu digantikan oleh Laura Basuki adalah keputusan yang tepat, mengingat porsi dan beban karakter Natalie di CTS 2 ini lebih berat dan lebih kompleks. Selain perubahan pemain karakter Natalie, karakter baru banyak dihadirkan dalam sekuel ini, beberapa diantaranya yang menarik perhatian adalah karakter Ibu Natalie (Maya Hasan), Amanda (Widuri Putri), dan bapak warkop (Marwoto). Selebihnya masih diisi oleh karakter-karakter lama dan beberapa karakter yang ada di film pertamanya juga dihilangkan, terutama sebagian karyawan toko yang memang udah ngga ada juga sih tokonya.

Nah, mulai dari sini isinya akan banyak spoiler. Jadi buat yang belum nonton dan anti spoiler, sebaiknya cukup membaca sampai sini. Lagian emang masih ada yang kuat baca celotehan asal-asalanku sampai sejauh ini? Jika ada, makasih banget lho ya mau jadi pembaca ceritaku ehehehe.

Ngomongin scene favorit di CTS 2 bisa dibilang semua scene yang ada LAURA BASUKI nya, hahaha. Asli ya chemistry Erwin-Natalie di sini bener-bener bagus banget, gemes banget ya emang nontonin orang pacaran. Scene awal dibuka dengan flashback pertemuan Erwin dan Natalie, yang emang kayaknya cuma ada di film-film ya. Cheesy abis, tapi trust me, manis banget.

Pokoknya setiap part pacarannya Erwin-Natalie ini selalu jadi ‘awww momen’ saking gemesnya. Special mention buat adegan Natalie pengen mie rebus pake sayur tapi di warkop ngga ada sayurnya, si Erwin bawain dong sayuran buat dimasak sama bapak penjual mie-nya khusus buat Natalie. Lalu scene Natalie sakit perut on 1st day of her period, Erwin ngasih botol buat kompres perut Natalie. Fyi, besokannya setelah nonton film, ternyata aku juga haid dan yaaa sudah pasti nyeri perut, tapi sayang aku tidak punya ‘Erwin’ yang dengan manisnya bisa ngasih botol buat kompres -yailah jadi manja-. Ujung-ujungnya dikompres jugas sih, tapi sama diri sendiri sambil berdoa,

Ya Allah sakit banget, semoga ada ‘Erwin’ buat saya juga ya, apalagi kalau lagi sakit begini. Saya ngga kuat semuanya apa-apa sendiri. Selama ini kuat ya sebenernya karena dikuat-kuatin aja, aslinya saya butuh teman hidup. Boleh ya, ketemuin jodohnya di dunia dulu? Aamiin.

Ayo semua yang masih baca sampai sejauh ini, bantu aaminin juga. HEHEHE

Oke, lanjut ke cerita filmnya lagi sebelum makin ngawur.

Kalau adegan gemes-gemesnya diemban oleh Erwin-Natalie, nah porsi komedi tersebar ke hampir seluruh pemainnya. Bahkan Yohan-Ayu yang sebelumnya hanya membawakan cerita drama, di CTS 2 menyuguhkan cerita komedi yang cukup banyak. Part komedi yang paling pecah saat adegan geng capsa mendebatkan tentang ‘susu kental manis’, pecah abissss pokoknya. Widuri Putri sebagai Amanda yang lugu juga bisa mencuri perhatian, meski adegannya tidak begitu dominan, lugu-lugu menggemaskan. Chemistry sama Tante Ayu berasa natural. Kalau di film pertamanya, pusat komedi ada di toko oleh obrolan karyawannya, di CTS 2 geng karyawan ini dipecah menjadi karyawan toko kue Ayu (ada Naryo dan Saipul) dan asisten foto Koh Yohan (Yadi dan Ojak) sudah tidak perlu diragukan lagi. Tek-tokan khas para komika emang juara. Terutama buat karakter Naryo, OMG Mas Yusril kamu luwes sekali. Totalitas.

Kembali ke cerita drama permasalahan persiapan nikah Erwin-Natalie yang jadi super ribet karena Ibu Natalie yang rese abis. Jadi sedikit refleksi ke diri sendiri, oh nikah tuh seribet itu ya meski dari kedua pasangan sudah menyederhanakan segala masalahnya tapi ternyata ngga cuma dua kepala yang mau bersatu tapi dua keluarga dengan banyak kepala dan banyak keinginan untuk dipersatukan. Eh tapi, berkat film ini bukannya jadi takut buat nikah malau semakin menambah keyakinan kalau jodoh ada aja jalannya meski berat selama pasangan suportif, bisa kok bisa. Bener-bener deh karakter Erwin di sini loveable sekali. Ngga sempurna, tapi kalau bisa diambil sikap baiknya ada banyaaak banget. Jadi ayo berdoa lagi,

Ya Allah boleh ya yang baik-baik kayak Erwin ini yang jadi jodoh saya. Yaaa yang baik-baiknya aja. Aamiin

Meski dalam cerita ini kesannya yang ribet emang cuma Ibunya Natalie, yang merasa selalu tau apa yang terbaik buat anaknya, padahal engga. Karakter ibu Natalie kayaknya jadi satu-satunya karakter yang menyebalkan, tapiiii bukan tanpa sebab. Alasan dibalik nyebelinnya ibu Natalie juga diceritakan cukup jelas, penonton bisa sedikit berempati menuju akhir ceritanya.

Pesan yang mau disampaikan lewat film ini salah satunya adalah ngasih tahu bahwa ngga semua tindakan orang tua itu baik buat anaknya, ngga semua orang tua tau yang terbaik buat anaknya. Jadi, yuk bapak-ibu jangan memaksakan kehendak buat anak-anaknya meski niatnya baik. Tapi selain pesan itu, dari film ini juga tergambar banget kalau jadi orang tua itu ngga gampang, bentuk kasih sayang mereka teramat berat ke anak-anaknya sampai salah pun ngga sadar. Tapi sebaiknya jadi anak juga harus bisa sama-sama ngertiin orang tua, apapun yg mereka lakukan dasarnya sayang kok, cuma kadang caranya yang salah atau sebagai anak yang salah mengartikan. Maaf ya, bapak-ibu kalau jadi anak masih sok tahu.

Buktinya kegambar kalau meski ada adegan yang cukup menyebalkan dari Ibu Natalie yang merasa paling tahu yang terbail buat Natalie atau Koh Afuk yang maksa-maksa minta cucu. Mereka cuma sayang, ujung-ujungnya juga mereka mengalahkan ego mereka setelah sadar salah. Setelah mereka sadar bahwa kehendak mereka bukan selalu yang terbaik buat anak-anaknya.

Beralih ke permasalah Yohan-Ayu yang menyinggung isu childfree dengan begitu halus. Akting Adinia Wirasti sebagai Ayu di sini berasa matang sekali, gokil aktor papan atas emang beda ya mainnya. Efortless banget. Ada satu adegan flashback yang jadi alasan Ayu ‘takut punya anak’ dieksekusi dengan sangat baik, emosinya kebawa sampai yang nonton ikut iba dan merasa mengerti alasan kenapa Ayu sebegitu takut untuk punya anak. Lalu karena alasan teresebut, scene-scene bersama Amanda (Widuri Putri) juga berasa canggung-canggungnya natural. Bahkan dari adegan-adegan canggung ini bisa munculkan sisi komedi.

Klimaks cerita juga jadi salah satu bagian yang paling ‘nendang’. Meski ga tahu teknis, tapi shoot pengambilan gambarnya yang muter-muter itu cakep banget. Emosi penonton diajak naik senaik-naiknya kayak di puncak roller coaster. Special mention buat adegan setelah Natalie ditampar, gila mimik muka Laura yang nunjukin dia campur aduk bingung, sedih, marah, dan sudah pasti malu tergambar sempurna meski tanpa kata.

Lalu pelan-pelan penonton dibawa menurunkan emosi lewat adegan penyelesaian yang menghangatkan. Obrolan pinggir pantai antara Koh Afuk dan Erwin menenangkan sekali, meski berusaha melucu untuk menghibur Erwin, delivery Koh Afuk terasa begitu haru. Jadi keinget bapak yang kalau nenangin anaknya, instead of nyari pokok permasalahannya malah mencoba mengalihkan untuk membayangkan momen-momen lucu atau menyenangkan yang pernah mereka lalui. Lagian, lagi dipuncak emosi mah mau diselesaian saat itu juga ngga bisa sih.

Makin menuju ending, semakin menenangkan dan menghangatkan filmnya. Lagi, penyelesaian cerita pun tidak lepas dari peran orang tua yang memang pada dasarnya punya cinta yang teramat besar buat anak-anaknya. Obrolan Koh Afuk dengan Ibu Natalie yang diam-diam mencari solusi buat anak-anaknya menunjukan bahwa segimanapun ribetnya orang tua, kalau landasannya sayang ujung-ujungnya berkorban juga buat kebahagian anak-anaknya.

Selain dari peran orang tua, penyelesaian dari Erwin-Natalie ditampilkan dalam adegan yang cukup menguras air mata. Lagi, Laura Basuki menunjukkan akting yang super duper mempesona untuk adegan campuran antara marah sok kuat tapi juga melemah karena tak berdaya. Tepuk tangan banget buat adegan di depan pintu kamar hotel. Dialog yang super bikin nangis adalah

“Jangan pernah lari ninggalin aku sendirian kalau ada masalah kayak tadi. Kalau ngga ada kamu aku harus berharap sama siapa lagi”

Nyessss … banjir air mataaaa.

Cerita berakhir dengan penyelesaian yang begitu manis. Baik secara penceritaan maupun secara teknis. Visualiasi endingnya cantik banget. Terbayar lah usaha segenap kru untuk dapet momen senja sebagai latar cerita. Suka banget momen adegan ending, rasanya melegakan dan menghangatkan. Emosi yang dibawa naik turun sepanjang filmnya berakhir dengan ketenangan.

Bicara lain-lain tentang film CTS 2 ini, suka sama pemilihan lagu-lagu temanya. Ada 3 lagu (semuanya bagus dan cocok) yang mengiringi cerita.

Kita Usahakan Rumah itu-Sal Priadi

Peka-Sheila Dara ft. Donne Maula

Terjanji-Mika Angelo

Semua lagunya ditempatkan dalam porsi dan momen yang pas banget. Jadi makin mendramatisir cerita, makin ngacak-acak emosi penonton sepanjang filmnya.

Selain soundtrack film, yang patut diacungi jempol adalah tidak ada lagi adegan sexist yang kurang nyaman ditonton terutama buat perempuan seperti di film pertamanya. Masih ada namun sudah sangat minim, itupun dalam konteks laki-laki yang ditanggapi “agak aneh” oleh karakter perempuannya. Baguslah, film bagus bisa kok tanpa harus ada cerita sexist begitu. Mungkin keterlibatan Meira sebagai penulis sedikit banyak mempengaruhi cerita filmnya yang berasa makin ada sentuhan perempuannya. Jadi balance aja ceritanya, semakin melengkapi keseluruhan cerita yang semula sudut pandangnya lebih sempit.

Overall, akhirnya bisa nonton film yang menenangkan dan menghangatkan lagi. Meski setelahnya jadi cukup banyak hal yang dipikirkan dan direnungkan. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil. Ngga cuma pelajaran sih tapi meningkatkan ‘keirian’ bisa punya pasangan suportif nan menyenangkan kayak Erwin atau Koh Yohan. Yang bisa dijadikan tempat bercerita, tempat berbagi, dan tempat menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi. After effect nonton filmnya emang jadi pengen punya pasangan yang bisa membersamai sebagai teman hidup.

Ya Allah boleh ya?

Kalau ada kesempatan, segera tonton di bioskop mumpung filmnya masih tayang. Tapi sepertinya akan cukup awet ya bertaham di bioskop. Jika punya teman nonton bisa diajak supaya lebih seru nontonya, tapi kalau belum punya teman nonton tetap bisa menikmati filmnya sendiri. Sayang banget sih melewatkan film sebagus ini, kalau bisa nonton lagi aku juga mau sih. Typical film yang ga bosen ditonton berulang kali di bioskop. Hayuuuk nonton lagi? hehehe

Buat yang sudah sejauh ini membaca celotehan acak-acakan dari aku yang berkedok review film ini, terima kasih ya. Semoga bisa ada manfaat yang bisa diambil meski sedikit.

For CTS 2,

8.5/10 buat Laura Basuki yang menggemaskan sekaliiii.

Posted in Review

Sebuah Ulasan: Home Sweet Loan

Hola! Udah lama banget ya, ngga nulis. Terakhir pertengahan tahun lalu, lalu hilang. So, here I am, balik lagi sebelum mungkin akan hilang lagi hihihi. Kali ini mau nulis karena ada topik bahasan yang kayak jadi keharusan buat ada jejak ceritanya. Yups, konten curhatan berkedok review kali ini bakal bahas novel ke-4 -yang berhasil rilis versi cetaknya- dari Kak Almira Bastari, one of my favourite writers, judulnya HOME SWEET LOAN.

Terdengar miris-miris manis bukan dari judulnya, tapi gimana sih ceritanya banyak manisnya atau banyak mirisnya? Let’s check it out, eh tapi sebelumnya mau cerita dulu nih gimana perjuangannya sampai bisa dapetin buku ini lewat war PO yang cukup drama hahaha.

Awal mula kabar rilisnya Home Sweet Loan ini beredar, aku udah prepare segalanya dari mulai dana sampai reminder waktu PO nya, yang kebetulan PO dibuka pas tanggal gajian -25 Januari- pas jam istirahat -jam 12 siang-. Berawal karena jatuh cinta sama Rara di novel Resign lalu ter”Gala-Gala” di novel Ganjil Genap, PO HSL ini emang udah aku siapin banget banget banget -hahaha lebay- dan fyi aja ini first time aku ikutan PO buku kayak gini. Pas tau ada banyak buku yang akan dicetak untuk PO, cukup yakin bakal dapetin bukunya apalagi setelah serangkaian strategi yang sudah disusun.

Tapi ngga bisa dibilang perjuangan dong kalau ngga ada dramanya ya kaaan? Pas hari H open PO ternyata gagal kebagian *sedih banget*, karena telat cek 4 menit. Gila sih orang-orang nih bener-bener berebut ya kalau PO kayak gini, hanya 4 menit langsung ludes aja. Gokil.

Setelah gagal, lalu seharian jadi gloomy padahal masih bisa beli bukunya bulan depan pas rilis di toko buku secara luas cuma lebih telat aja. Lalu, suatu keajaiban datang -hahaha lebay lagi- pas udah balik ke kosan, iseng buka ig Kak Almira, liat story-nya isi repost-an orang-orang yang berhasil menangin war PO *iri iri iri*, lalu ada story yang minta komen-komen bagi yang belum kebagian kali-kali bakal dibuatin PO ke-2 nya, lalu asal aja ikut komen dan iseng cek toko buku online lagi yang tadi udah kehabisan stock. It’s miracle, ternyata beneran dibuka PO ke-2, langsung tanpa mikir lagi checkout. Ternyata secara official belum diinfoin kalau udah dibuka PO ke-2, untung aja sih. Kalau tahunya setelah info PO ke-2 dibuka, bisa-bisa kehabisan lagi.

Legaaaa banget, yang tadinya gloomy langsung jadi happy. Meski PO ke-1 dan ke-2 ada bedanya, ngga dapet merchandise -keset HSL-, tapi tetep bersyukur bisa baca buku ini lebih dulu sebelum rilis akhir Februari nanti. Alhamdulilaah.

Oke, setelah panjang banget cerita perjuangan dapetin bukunya. Yuk mari kita bahas isi bukunya, yang kalau kata salah satu temen pernah penasaran sampe nanya “Kenapa kaya heboh banget kamu pengen buku ini es?” hahaha. Semoga melalui tulisan ini terjawab ya hihihi.

1 … 2 … 3 …


Home Sweet Loan bercerita tentang Kaluna, staff bagian umum di salah satu bank bersama ke-3 teman masa SMA yang kebetulan satu tempat kerja -Kamamiya, Tanish dan Danan- dalam perjuangan mereka mencari “rumah idaman”. Meski dengan alasan dan latar belakang yang berbeda-beda tujuan mereka sama-sama mencari “rumah idaman”, tempat untuk berpulang.

Kaluna, si tokoh utama. Berlatar belakang kaum middle class yang masih tinggal bersama keluarga ++ nya, karena dalam satu rumah ada 3 kepala keluarga. Yaps, Kaluna tinggal bersama Ayah-Ibu dan kedua kakaknya yang sudah menikah -dan punya anak-. Si hemat, penuh perhitungan dan penuh perencanaan, si paling semangat dalam mencari hunian idaman agar bisa keluar dari rumah dengan 3 kepala keluarga.

Kamamiya, si paling tenar, yang berambisi jadi selebgram. Paling suka belanja dan buang-buang uang untuk kesenangan dan tentu saja kebutuhan konten. Si pencari apartemen cantik untuk bisa diunggah ke media sosial.

Tanish, si paling realistis. Ibu milenial satu anak, yang sedang berjuang mencari hunian tetap dengan perjuangan joint income bersama sang suami yang rela long distance marriage. Agar bisa memiliki hunian yang lebih legaan, agar bisa hidup lebih nyaman bersama keluaga kecil -dan mertua-nya-.

Danan, si paling tanpa beban. Tak punya target khusus baik memiliki hunian maupun pernikahan. Si yang hidup untuk hari ini, senang-senang adalah keharusan. Hingga akhirnya sadar dan mulai memikirkan masa depannya.

Lalu, berhasilkah mereka menemukan tujuan masing-masing? Punya hunian idaman untuk tempat berpulang.


Baca novel ini ngga cuma sekedar hiburan tapi juga sebagai sarana merenung dan mengambil pelajaran. Honestly, setelah baca novel ini jadi sedikit overthinking karena cukup banyak case yang bisa relate dengan kondisi banyak orang. Terlebih, berbeda dengan karakter-karakter dari novel Kak Almira sebelumnya, tokoh utama kali ini digambarkan sebagai kaum middle class dengan segala perjuangannya dalam menjalani kehidupan, jadi lebih bisa merasakan kedekatannya.

Penceritaan juga terasa sangat familiar dengan kondisi saat ini. Berlatar kehidupan pekerja di Jakarta, sedikit mengambil issue tentang pandemi, jadi makin berasa nyata aja. Kali ini, porsi romance tidak begitu ditonjolkan meski kemunculannya tetep ya bikin gemasss. Rom-com versi Kak Almira selalu berhasil bikin senyum-senyum dan ikut baper, meski jujur kali ini ngga cuma kesemsem tapi juga ikut berempati pada kondisi Kaluna dan kisah cintanya.

Sesuai judulnya, cerita berfokus pada pencarian rumah idaman masing-masing tokoh. Penceritaan saat mereka bersama-sama mencari rumah dan banyak cobaannya menjadi cerita yang menarik. Menunjukan kalau tidak gampang ya mencari hunian yang nyaman, aman, sesuai keinginan dan anggaran. Dari HSL, jadi tahu sedikit banyak tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pencarian rumah. Beberapa istilah seperti SHM, IMB, tanah girik, dll yang sebelumnya asing jadi bahasan menarik dalam cerita ini.

Karena fokus ceritanya tentang pencarian rumah yang tidak terpisahkan dengan perencanaan dana, dari novel ini juga belajar berhemat dan membuat perencanaan ala Kaluna yang sebenarnya sudah agak mirip-mirip ku praktikan. Relate banget sama Kaluna yang harus nyatet pengeluaran, buat perencanaan anggaran bulanan dari gaji yang masih pas-pasan, yang harus mikir berkali-kali kalau mau jajan atau jalan-jalan, yang harus berhemat dan berusaha tidak terpengaruh gaya hidup teman-teman yang spending behaviour-nya cukup jor-joran demi kesenangan. Semua dilakukan demi tabungan masa depan yang masih jauh untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan impian.

Cerita tentang kehidupan rumah tangga juga digambarkan dengan menarik dari banyak case. Cerita tentang Tanish dan suaminya yang harus menjalani long distance marriage demi bisa menghidupi kebutuhan keluarga dan segala persiapan buat masa depan anaknya, hidup sebagai ibu pekerja yang masih dapat omelan-omelan mertua karena dibilang terlalu sibuk, hmm menjadi sedikit perenungan. Ternyata berumah tangga perlu banyak pertimbangan, pengorbanan dan banyak hal lain yang perlu dipersiapkan. Cerita tentang kehidupan pernikahan lain juga digambarkan dari kakak-kakak Kaluna yang sudah berkeluarga tapi masih tinggal seatap dengan orang tua. Masalah? sudah pasti ada, rumah dengan satu kepala keluarga saja bisa timbul masalah, apalagi ada tiga kepala keluarga.

Kalau kata salah satu quote di bukunya sih begini,

“Menikah tanpa mengukur kemampuan diri artinya bersiap-siap membuat konflik di keluarga besar”

TBL TBL TBL

Eh tapi, bukan berarti dari cerita ini “menikah” kesannya horror banget ya. Justru dalam cerita ini Kaluna juga diceritakan ingin menikah namun dengan persiapan yang lebih matang dibanding kakak-kakaknya. Malah, cukup intens cerita tentang para tokohnya yang ingin menikah apalagi mereka sudah menginjak kepala 3++. Kamamiya dan Kaluna sudah mulai panik-panik -ditambah tekanan banyak hal- kapan bisa segera menikah, kalau Danan? Yah, Danan adalah si paling tanpa beban ditambah karakternya yang percaya diri dan cukup narsis, jadilah dia santai-santai saja -atau memang kebanyakan laki-laki begitu?-

Kayaknya akan sulit bagi para pembaca untuk tidak bersimpati dengan kisah Kaluna ini, dari mulai keinginannya menikah dengan pacarnya -Mas Hansa- tapi terbentur perbedaan gaya hidup antara keluarganya dan keluarga Mas Hansa. Kaluna harus berkorban bahkan memaksakan keadaan agar bisa dianggap “setara” dengan keluarga Mas Hansa.

Kaluna juga harus bisa bertahan di rumahnya yang semakin bertambah jumlah anggota keluarganya, kehidupannya makin suram. Kamar digusur dan pindah ke kamar pembantu, harus rela mengerjakan banyak pekerjaan rumah karena kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga selalu beralasan “orang yang sudah berkeluarga lebih repot dari yang masih single, mohon pengertiannya,”. Sudah berkorban begitu-pun Kaluna mash direcoki masalah keuangan yang dia tabung dengan susah payah demi mendapat hunian impian, tapi malah harus digunakan untuk membayar hutang atas kesalahan-kesalahan kakak-kakaknya.

Kaluna yang akhirnya memutuskan berpisah dengan Mas Hansa karena terbentur perbedaan yang sulit ditoleransi, tabungan lenyap, dan cita-cita punya hunian idaman pupus harapan. Poor Kaluna, puk-puk-puk. Tapi, tenang saja setelah ujian bertubi-tubi Kaluna juga mendapatkan kebahagiannya, meski dengan perjuangan yang penuh pengorbanan dan keikhlasan.

Berbicara aspek romance dari novel ini, akhirnya ya setelah gagal menebak jodoh Gala di Ganjil Genap kali ini tebakan jodoh Kaluna benar. Akhirnya juga aspek cinta-sahabat berbalas kali ini. Meski penceritaanya tipis-tipis tapi tetep manis -pake banget- justru kadang yang simple-simple gini ngga banyak neko-neko bisa lebih ngena ya. Jadi tahu juga gambaran kisah cinta orang dewasa itu minim basa-basi, lebih realistis, meski tetep ya namanya cinta juga ada gemes-gemesnya, dan Kak Almira nih jagonya meramu cerita yang bikin tetep seru meski ada haru.

Meski kali ini penceritaan kisahnya cenderung lebih banyak keharuan yang jadi bahan perenungan, humor khas novel-novel Kak Almira tetep ngga ketinggalan. Celetukan-celetukan yang sebenernya bisa jadi pelajaran sering disampaikan lewat obrolan-obrolan lawak dari Kaluna dan geng-nya yang bikin ngakak. Gaya bahasa yang nge-pop juga jadi ciri khas novel Kak Almira yang bikin susah berhenti, bawaanya pengen beres sekali duduk aja. Ceritanya ngalir tanpa terasa melelahkan.

Tentang kedekatan dari cerita novelnya ini banyak banget sih, mulai dari kondisi sesama yang jadi satu-satunya single dalam keluarga yang terkadang dianggap bisa membantu sebanyak-banyaknya dengan alasan “belum banyak tanggungan” tapi ngga bisa menolak kayak Kaluna apalagi kalau kejadiannya udah menyangkut ibu-bapak. Keluarga segimana repotnya selalu ada alasan untuk saling melindungi, saling menolong, dan saling menyayangi, karena sejauh-jauhnya pergi-pun keluarga tempat berpulang. Terharu banget pas bagian cerita tentang “kabur”nya Kaluna dan alasannya.

Lalu cerita tentang menentukan masa depan untuk menikah dan segala pertimbangannya. Galau-galaunya Kaluna dengan Mas Hansa yang ternyata benar bukan jodohnya meski sudah menjalani hubungan yang cukup lama dan cerita tentang tekanan dari orang tuanya mengingat usia yang sudah dewasa, tapi Kaluna yang merasa belum siap dan belum yakin dengan Mas Hansa. Bahkan setelah berpisah dengan Mas Hansa-pun Kaluna menjadi susah membuka peluang bagi orang lain karena merasa belum siap memulai hubungan dengan membawa masalah keluarga yang bisa jadi menjadi masalah di calon keluarganya. Perasaan-perasaan yang sedang begitu dekat dengan kondisi banyak orang -tanpa terkecuali, aku-. Terbentur antara mau tapi belum mampu, jadi setiap ditanya dengan topik bahasan ini sering buntu, ngga tahu.

Overall, aku seneng banget bisa punya kesempatan buat baca novel ini duluan. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil dari baca novel ini. Belajar kan bisa dari mana saja ya, ngga melulu dari buku-buku yang pembahasannya serius, terkadang lewat cerita novel yang menyoroti kehidupan begini juga bisa diambil banyak pelajarannya. Pembawaan yang santai kadang bisa lebih masuk buat jadi bahan perenungan.

Satu-satunya kekurangan dari novel ini adalah kuraaaaaaang panjang ceritanya wkwk.

Seperti biasa, dari novel ini akan aku sertakan sedikit kutipan bukunya yang menurutku menarik. Bahkan pada bacaan kali ini, aku sampai bikin anotasi buku dan menghabiskan hampir satu pack book marker saking banyaknya part yang bikin kagum, relate, ngakak, sedih, sampai awww moment saking gemesnya juga ada.

Selamat datang di kota megapolitan Indonesia bernama Jakarta, yang gaji pegawainya di daerah elite hanya satu digit di depan juta rupiah. Tidak semua orang dunianya seindah tampilan di mal-mal premium Jakarta, dengan menenteng tas bermerek atau lompat-lompat di Senoparty dengan sepatu yang mungkin lebih mahal dari gajiku sebulan.”

“Kata Tanish, nikah itu manisnya hanya sebelum nikah. Setelah nikah, semuanya kerja keras. Punya anak apalagi. Jadi di kepala Tanish, semuanya serba “digampang-gampangin” saja, jangan dibuat ribet.”

Marie Kondo berbenah jadi kaya. Aku berbenah terus-terusan, hidupku malah jadi tambah berantakan.”

“Ibu selalu begini. Bagi Ibu, sesalah apapun anaknya, anak tidak pernah salah. Sesedikit apapun tenaga Ibu, di kepala Ibu hanya ingin membantu sebanyak-banyaknya urusan anak.”

Di masa depan, orang-orang yang bisa menggelar hajatan, lamaran, apalagi pernikahan di rumah sudah pasti orang kaya banget. Karena rumah generasi milenial bisa ada ruang tamu yang terpisah dengan ruang keluarga saja sudah mewah.”

Kalau dari pacaran saja keluarga calon mertua sudah sinetron, jangan harap pas nikah jadi baik. Yang ada malah jadi sinteron Azab!”

“Cewek kan prinsipnya nunggu cowok hadir, deketin, berjuang untuk dia. Lha ini, cowoknya juga nunggu. Sama-sama nunggu. Nggak ada yang gerak. Emangnya lagi nunggu pertandingan? Tapi ngga ada yang tanding karena semuanya nonton!”

“Rumah murah kalau bukan takdir keberuntungan, pasti sebuah kebetulan, kebetulan banyak masalahnya.”

Jodoh itu perkara memilih, menerima apa adanya, menerima seada-adanya, atau sama-sama berusaha.”

“Katanya kebahagiaan bagi orang kaya itu bukan lagi uang. Sedangkan buat mereka yang masih butuh uang, uang adalah solusi untuk banyak permasalahan.”

“Kalau laki-laki niat, dia bakal berusaha bagaimanapun caranya.”

Jadi tanpa bosan-bosan, aku rekomendasiin novel ini banget buat kalian yang lagi butuh bacaan ringan berbonus nasihat-nasihat dan pelajaran kehidupan. Kalau kata quote bukunya di halaman pertama, novel ini ditujukan

“Untuk yang berjuang memiliki tempat untuk pulang”

4.8/5 untuk Kaluna yang berhak bahagia.

*note: OOT, pas baca novel ini versi cetaknya sempet ngerasa ngga asing sama nama “Danan” ternyata baru kepikiran pas menuju ending kalau “Danan” adalah nama keponakan baruku yang lahir sehari setelah open PO HSL HAHAHA. Tante doain semoga kelak bisa jadi kayak Om Danan di cerita ini ya, tapi versi yang baik-baiknya aja xixixi.